Thursday, November 22, 2018

Pertanian di NTB





Tambahan Alokasi Pupuk 2000 ton dan Bibit Jagung di Kabupaten Dompu

                                                            Sumber : suarantb.com
 
Ketersediaan pupuk sering menjadi salah satu masalah yang serius di Kabupaten Dompu pada masa tanam musim hujan karena tingginya kebutuhan. Melihat permasalahan tersebut, pemerintah mengambil upaya berupa tambahan alokasi pupuk pada masa tanam 2018-2019 hingga 2000 ton, mengingat bahwa Kabupaten Dompu merupakan salah satu sentra pengembangan jagung NTB. 


Plt Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Dompu, Ilham SP. mengakui bahwa Kabupaten Dompu ditargetkan pemerintah Provinsi untuk luas tanam jagung hingga 124 ribu ha. Namun kesanggupan daerah berdasarkan potensi yang ada hanya 89 ribu ha untuk masa tanam Oktober 2018-Maret 2019. Tapi kekurangannya akan diuapayakan pada musim kemarau 1 dan musim kemarau 2 di lahan-lahan persawahannya.


Beliau juga mengungkapkan bahwa Target perluasan tanaman jagung di Kabupaten Dompu ini akan diikuti dengan dukungan ketersediaan pupuk dan bibit. Untuk kuota pupuk, Kabupaten Dompu mendapat alokasi hingga 16 ribu ton. Jumlah ini sudah mendapat tambahan hingga 2 ribu ton oleh Provinsi untuk mengantisipasi kebutuhan pupuk yang besar pada masa tanam Oktober – Maret. “Kita mendapat tambahan 2 ribu ton, diambil dari daerah lain yang tidak terserap kuota pupuknya.”


Berhubung target utama pada permasalahan ini adalah petani, untuk itu petani perlu diingatkan untuk tidak membeli pupuk saat pupuk dibutuhkan. Terlebih pada masa tanam Oktober – Maret bertepatan dengan musim hujan, sehingga dikhawatirkan mobilisasi pupuk akan sulit. Dengan demikian, petani bisa menyiapkan lebih awal kebutuhan sesuai luas tanam.


Dalam hal kebutuhan bibit jagung, kabupaten Dompu juga akan didukung oleh pemerintah. Menurut Ilham, hanya saja alokasi bibit jagung tahun ini berbeda dari tahun 2017 lalu. Jika pada 2017 lalu, alokasi bantuan bibit dibagi 70% bibit unggulan petani dan 30% bibit produksi penangkar lokal. Namun pada tahun 2018 ini, polanya dibalik menjadi 70% hibrida produksi penangkar lokal dan 30% hibrida unggulan petani. "Ini mungkin agar hibrida penangkar lokal bisa hidup", ujarnya. 

Hibrida penangkar lokal kurang diminati petani karena produktifitasnya yang rendah. Sementara biaya produksi yang harus dikeluarkan petani jumlahnya sama. Dengan demikian, sebagian petani mengambil tindakan untuk membeli sendiri bibit yang sesuai dengan keinginannya.



No comments:

Post a Comment